Oleh : Chairul Zen S.,Al-Falaky
Team Ahli BHR SU/ Ketua Team Ahli BHR Langkat
Hisab
rukyat terkait dengan penentuan awal bulan Hijriyah masih bermasalah. Seringkali
disederhanakan masalahnya karena perbedaan metode, khususnya antara metode
hisab dan rukyat. Kalau ditinjau secara keseluruhan, masalahnya adalah pada
sistem hisab rukyat, meliputi metode dan kriterianya. Kalau dikaji lebih
mendalam lagi, kini jelas bahwa sumber utama bukan pada perbedaan metodenya,
tetapi pada perbedaan kriteria.
Dalil
Alquran dan Hadits tentang hisab rukyat sebenarnya tidak banyak. Tanpa menyebut
satu persatu dalil Al-Quran dan Al-Hadits yang biasa dikemukakan oleh para ahli
fikih, secara umum dalil-dalil tersebut menyatakan hal-hal berikut:
1.
Hilal digunakan untuk menentukan waktu (kalender) dan
ibadah (QS 2: 189).
2.
Penentuan waktu bisa dilakukan karena bulan mempunyai
fase-fase dari sabit sampai kembali menjadi sabit yang tipis seperti pelepah
kering dengan periode yang tertentu (QS 36:39).
3.
Dengan keteraturan peredarannya, matahari dan bulan dapat
digunakan untuk perhitungan waktu dan penentuan bilangan tahun (QS 10:5, 55:5).
4.
Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan
malampun tidak dapat mendahului siang, karena masing-masing beredar pada garis
edarnya (QS 36:40)
5.
Hukum Allah tentang peredaran matahari dan bulan di
langit yang menentukan satu tahun itu 12 bulan, karenanya mengubah atau
mengulurnya karena suatu alasan (misalnya strategi perang atau penyesuaian
dengan musim) tidak dibenarkan (QS 9:36-37).
6.
Shaumlah bila melihatnya (hilal) dan berbukalah bila
melihatnya. Bila terhalang awan maka sempurnakan bilangan bulan 30 hari atau
perkirakan (dengan hisab atau istikmal 30 hari) (Al-Hadits).
Dari
sekian dalil Al-Quran dan Al-Hadits, pokok masalah yang utama adalah tidak
adanya petunjuk operasional yang jelas, rinci, dan bersifat kuantitatif seperti halnya masalah waris. Tentu ini ada
hikmahnya, ummat Islam ditantang untuk melakukan riset ilmiah untuk
memperjelas, merinci, dan mengkuantitaskan pedoman umum dalam nash Al-Quran dan
Al-Hadits. Sesuai dengan sifat riset ilmiah, tidak ada yang bersifat benar
mutlak untuk selamanya dan di segala tempat. Semuanya bersifat dinamis.
MASALAH POKOK
Hal-hal pokok yang perlu diperjelas,
dirinci, dan dikuantitaskan adalah sebagai berikut:
a.
Apakah hilal itu? Definisi hilal bisa
beragam, tetapi bila itu bagian dari riset ilmiah, semua definisi itu
semestinya saling melengkapi. Bukan dipilih definisi parsial. Hilal harus
didefinisikan mulai dari metode sederhana rukyat tanpa alat bantu sampai dengan
alat canggih hasil teknologi terbaru. Hilal juga harus terdefinisi dalam
kriteria hisab yang menjelaskan hasil observasi. Misalnya, definisi lengkapnya
akan dirumuskan sebagai berikut: Hilal adalah bulan sabit pertama yang
teramati di ufuk barat sesaat setelah matahari terbenam, tampak sebagai goresan
garis cahaya yang tipis, dan bila menggunakan teleskop dengan pemroses citra
bisa tampak sebagai garis cahaya tipis di tepi bulatan bulan yang mengarah ke
matahari. Dari data-data rukyatul hilal jangka panjang, keberadaan hilal
dibatasi oleh kriteria hisab tinggi minimal sekian derajat bila jaraknya dari
matahari sekian derajat dan beda waktu terbenam bulan-matahari sekian menit
serta fraksi iluminasi sekian prosen.
Fenomena
rukyat dan hisab seperti itu harus saling mengisi, sehingga dapat saling
menggantikan dalam kondisi tertentu, baik kondisi alamiah maupun kondisi
pemikiran (misalnya pemilihan hisab saja atau rukyat saja seperti terjadi
sekarang).
b.
Sejauh mana keberlakuan rukyatul hilal atau mathla'? Kita semua
mengetahui bahwa bumi itu bulat, bukan seperti selembar kertas. Dapat
dipastikan ada daerah yang bisa melihat hilal lebih awal dari daerah lainnya. Tidak
ada batasan fisik kuantitatif yang dapat dibuat dalam menentukan mathla' tanpa
mempertimbangkan kondisi sebaran penduduk dan geopolitik pada suatu masa. Gagasan
untuk membuat rukyat yang bersifat global akan berbenturan dengan sekian
kesulitan, termasuk memaksa orang untuk berjaga menunggu kesaksian hilal yang
belum pasti atau memaksa orang men-qadha shaum bila terlewat. Sementara membuat
batasan radius sekian derajat juga tidak ada alasan ilmiah yang sahih. Gagasan
fuqaha menentukan mathla' bersifat wilayatul hukmi (berdasarkan wilayah
hukum) dipandang sangat beralasan karena berangkat dari konsep ulil amri
sebagai pemersatu ummat. Kalaulah kelak ada ulil amri yang ditaati oleh semua
ummat Islam sedunia, konsep wilayatul hukmi yang global bisa terwujud.
Ada
masalah muskil yang mengemuka dan berimplikasi munculnya perbedaan pendapat
yang berkepanjangan. Untuk mendapat jawaban atas masalah pokok tersebut di
atas, umat Islam terus menerus selama ratusan tahun mengkajinya dari penafsiran
makna tersirat dari nash Al-Quran dan pendapat ulama terdahulu yang mungkin
didasarkan pada perkembangan pemikiran pada zamannya. Ada juga kecenderungan
simplifikasi masalah sehingga solusinya bersifat parsial. Misalnya, sekian lama
kita berdebat soal makna "rukyat" sehingga kemudian muncul ungkapan
"rukyat bil qalbi", "rukyat bil ilmi", dan "rukyat bil
'ain". Sekian lama kita terpaku pada pendapat wujudul hilal atau tidak
sahnya rukyat pakai alat yang bersifat memantulkan cahaya. Pemisahan rukyat dan
hisab, penggunaan hisab wujudul hilal, atau kriteria tunggal tinggi bulan minimal
2 derajat adalah representasi bentuk simplifikasi permasalahan yang kemudian
dianggap sebagai hasil pemikiran yang final oleh sebagian masyarakat.
Jadi, substansi masalah pokok hanyalah redefinisi "hilal" yang
integral antara hisab dan rukyat dengan riset ilmiah yang terbuka. Riset tidak
berarti harus memulai dari nol dengan merukyat sendiri, karena hal itu justru
bukan metodologi riset yang efisien untuk masalah hisab rukyat yang memerlukan
data jangka panjang dan cakupan wilayah yang sangat luas. Perlu keberanian
mengoreksi pendapat sendiri dan sikap terbuka menerima pendapat lain yang
mungkin sama sekali baru. Redifinisi hilal secara konkrit dirumuskan dalam bentuk
kriteria hisab rukyat.
HISAB RUKYAT
DI INDONESIA KINI
Mencermati perkembangan praktek
penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha di Indonesia kita bisa
merujuk akar masalahnya pada kriteria yang digunakan oleh dua ormas besar: NU
(Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah. Ormas lain, seperti Persis (Persatuan
Islam), walau sedikit berbeda kriterianya secara garis besar berada pada salah
satu kriteria NU atau Muhammadiyah. Untuk mencari titik temu, perlu kita
memahami kesamaannya dan perbedaannya serta kemungkinan untuk dipersatukan.
Nahdlatul Ulama
NU sebagai ormas Islam
berhaluan ahlussunnah wal jamaah berketetapan mencontoh Rasulullah dan para
sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama madzhab empat (Hanafi, Maliki,
Syafi'i, dan Hambali). Dalam hal penentuan awal bulan, NU menetapkan harus
dengan rukyatul hilal bil fi'li, dengan melihat hilal secara langsung. Bila
berawan atau menurut hisab hilal masih di bawah ufuk, mereka tetap merukyat
untuk kemudian mengambil keputusan dengan menggenapkan (istikmal) bulan
berjalan menjadi 30 hari. Demikianlah ketentuan syariat yang diyakininya. Hisab
hanya sebagai alat bantu, bukan sebagai penentu masuknya awal bulan qamariyah.
Kesaksian dapat diyakini karena saksi perlu
disumpah. Sering kali, sumpah dianggap lebih kuat dari argumentasi ilmiah
berupa hasil hisab. Dalam beberapa kasus, bulan yang masih di bawah ufuk
menurut perhitungan astronomi dilaporkan terlihat dan diambil sebagai dasar
penetapan awal bulan, misalnya pada penetapan Idul Fitri 1413/1993. Namun sejak
1994, PBNU telah membuat pedoman bahwa kesaksian hilal bisa ditolak bila semua
ahli hisab sepakat menyatakan hilal tidak mungkin dirukyat. Secara lebih tegas
dinyatakan kesaksian rukyatul hilal dapat ditolak bila tidak didukung ilmu
pengetahuan atau hisab yang akurat.
Prinsip penolakan itu
telah dilakukan dalam sidang itsbat penentuan Idul Fitri 1418/1998 yang menolak
kesaksian di Cakung dan Bawean. Saat itu hilal masih di bawah kriteria imkanur
rukyat 2 derajat. Namun prinsip itu belum secara konsisten dilaksanakan, karena
PWNU Jawa Timur justru menerima kesaksian tersebut. Termasuk komentar negatif dari beberapa tokoh
NU atas pernyataan Lajnah Falakiyah PBNU yang mengisyaratkan Idul Fitri jatuh
pada 6 Desember 2002 sebelum ada rukyatul hilal, hanya mendasarkan pada
kriteria yang sebenarnya telah menjadi pedoman PBNU. Tampaknya kriteria imkanur
rukyat 2 derajat belum diterima di seluruh jajaran NU atau belum
disosialisasikan. Padahal kriteria itu didasari oleh hasil rukyat sebelumnya
tentang batas minimal ketinggian hilal yang teramati secara meyakinkan.
Hal ini bisa dirujuk dari pengamatan hilal awal
Ramadhan 1394/16 September 1974 yang dilaporkan oleh 10 saksi dari 3 lokasi
yang berbeda. Tidak ada indikasi gangguan planet Venus. Perhitungan astronomis
menyatakan tinggi hilal sekitar 2 derajat dengan beda azimut 6 derajat dan umur
bulan sejak ijtimak 8 jam. Jarak
sudut bulan-matahari 6,8 derajat, dekat dengan limit Danjon yang menyatakan
jarak minimal 7 derajat untuk mata manusia rata-rata. Kriteria tinggi 2 derajat
dan umur bulan 8 jam ini yang kemudian diadopsi sebagai kriteria imkanur rukyat
MABIMS (negara-negara Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura)
pada 1996.
NU telah berijtihad menerima batasan imkanur
rukyat 2 derajat, walau pun sosialisasi ke semua jajaran belum berjalan baik. Lagi-lagi,
sebagai bagian proses ijtihad penetapan imkanur rukyat 2 derajat patut
dihargai. Ini lebih baik daripada tanpa kriteria seperti kasus Idul Fitri
1413/1993 yang menerima kesaksian rukyatul hilal padahal bulan sudah di bawah
ufuk menurut hisab astronomi yang akurat. Namun pedoman "didukung ilmu
pengetahuan atau hisab yang akurat" masih membuka peluang yang lebih luas.
Kriteria imkanur rukyat 2 derajat yang telah diterima, masih harus dikaji lagi
secara ilmiah. NU juga harus terbuka mengkaji ulang ijtihadnya agar sesuai
dengan ilmu pengetahuan atau hisab yang akurat sesuai pedoman yang ditetapkan. Sehingga
definisi hilalnya bukan semata-mata hilal "syariat" yang diyakini
benarnya dari sumpah pengamatnya, melainkan hilal sesungguhnya yang dapat
dibuktikan secara ilmiah.
Muhammadiyah
Keputusan Musyawarah
Tarjih Muhammadiyah 1932 menegaskan bahwa datangnya awal bulan bukan hanya
dengan rukyat, tetapi juga dengan hisab. Hisab bisa berdiri sendiri sebagai
sumber pengetahuan datangnya Ramadhan dan bulan-bulan qamariyah lainnya. Ini
berbeda dengan NU yang menyatakan hisab hanya sebagai pembantu rukyat.
Muhammadiyah
mendefinisikan hisab sebagai perhitungan astronomis tentang posisi hilal. Namun,
hisab tidak mungkin membuat keputusan tanpa adanya kriteria yang disebut hilal.
Tidak ada satu pun dalil dalam hadits atau Alquran yang menyebutkan secara
tegas apa itu hilal yang bisa diterjemahkan secara kuantitatif dalam kriteria
hisab.
Pendekatan yang dilakukan
Muhammadiyah adalah dengan pendekatan astronomis bahwa hilal adalah penampakan
bulan yang paling kecil yang menghadap bumi beberapa saat setelah ijtimak. Inilah
yang kemudian menjadi kriteria hisabnya bahwa awal bulan baru ditandai dengan
wujudnya hilal. Tandanya adalah bila matahari terbenam lebih dahulu daripada
bulan.
Dalam perkembangan pemikiran
ijtihadiyah, penggunaan kriteria wujudul hilal patut dihargai. Itu merupakan
syarat perlu untuk munculnya hilal. Tetapi syarat itu belum cukup. Hilal telah
wujud bisa juga terjadi sebelum ijtimak. Hal itu terjadi di Indonesia
Dzulhijjah 1423 lalu. Di Kalimantan bagian selatan, Sulawesi bagian selatan,
Nusa Tenggara, dan Papua bagian selatan bulan telah wujud pada saat maghrib 1
Februari, tetapi belum terjadi ijtimak. Kasus yang ekstrim terjadi pada bulan
Syaban 1423 (Oktober 2002). Saat itu di sebagian besar Indonesia bulan telah
wujud, tetapi belum terjadi ijtimak. Dalam beberapa kasus (misalnya, saat
penentuan Idul Adha 1423), masalah ini teratasi dengan konsep mathla' wilayatul
hukmi. Tetapi bila kasus ekstrim seperti Sya'ban 1423 dengan garis ujtima' saat
maghrib bergeser ke arah barat, ke luar Indonesia, konsep wilayatul hukmi tidak
dapat mengatasi wujudul hilal sebelum terjadi ijtima'. Kriteria wujudul hilal
kemudian perlu ditambahkan dengan kriteria ijtimak sebelum maghrib (ijtimak
qablal ghurub).
Dalam perkembangan saat ini berbagai
argumentasi dikemukakan untuk mendukung kriteria wujudul hilal, termasuk dari
penafsiran QS 36:39-40. Bahkan ada juga yang mencari pendekatan dari awal bulan
secara astronomis yang diharapkan kesimpulannya akan sama dengan awal bulan
dengan kriteria wujudul hilal. Pendekatan murni astronomis, bisa menyesatkan
bila digunakan untuk pembenaran penetapan awal bulan yang harus
mempertimbangkan syariat. Bulan baru astronomi atau ijtimak, tidak ada dasar
hukumnya untuk diambil sebagai batas awal bulan qamariyah. Sementara itu,
posisi bulan di atas ufuk dalam definisi sesungguhnya wujudul hilal tidak punya
arti secara astronomis, karena tidak mungkin teramati. Wujudul hilal hanya ada
dalam teori. Apalagi kalau wujudul hilal tidak mempertimbangkan ijtima' qablal
ghurub, "hilal" teoritik pun mungkin tidak ada karena belum terjadi
ijtimak.
Sementara itu konsep mathla' wilayatul hukmi
kontradiksi kalau diterapkan pada hisab murni, tanpa mengadopsi kriteria
rukyat. Konsepsi mathla' berangkat dari ketidakpastian rukyat. Di satu daerah
hilal tampak, sedangkan di daerah lain tidak tampak. Pada zaman Ibnu Abbas
mathla' dapat diterapkan tanpa masalah karena komunikasi antardaerah masih
sangat buruk. Tetapi dengan makin baiknya komunikasi, kesaksian rukyatul hilal
disuatu daerah segera tersebar. Dalam hal ini konsep mathla' diperlukan untuk
memberikan kepastian keberlakuan rukyatul hilal itu. Dengan hisab murni,
mathla' tidak diperlukan lagi. Garis tanggal dapat digunakan sebagai pembatas
daerah yang mana yang masuk tanggal lebih dahulu dari daerah lainnya. Tentu
dengan konsekuensi kemungkinan satu wilayah hukum terpecah dua.
Muhammadiyah telah berijtihad mengambil hisab
secara mandiri tanpa tergantung rukyat secara fisik (bil fi'li) karena rukyat
telah direpresentasikan dalam bentuk kriteria wujudul hilal. Dalam
perkembangannya, kriteria wujudul hilal saja tidak cukup, perlu kriteria
ijtimak qablal ghurub. Kini Muhammadiyah perlu juga terbuka untuk mengkaji
ulang ijtihadnya, dengan memasukkan faktor transparansi atmosfer dan kepekaan
mata manusia yang lazim dalam telaah astronomis tentang visibilitas hilal
(imkanur rukyat). Sehingga definisi hilal bukan lagi hilal teoritik yang tidak
punya landasan qath'i dari syariat dan tidak punya dukungan astronomis,
melainkan hilal yang benar-benar terbukti dapat dirukyat.
FATWA MUI
Fatwa MUI No 2/2004
tentang Penetapan Awal ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah menyatakan bahwa
penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode
rukyat (pengamatan hilal, bulan sabit pertama) dan hisab (perhitungan
astronomi). Ini menegaskan bahwa kedua metode yang selama ini dipakai di
Indonesia berkedudukan sejajar. Keduanya merupakan komplemen yang tidak
terpisahkan. Masing-masing punya keunggulan, namun juga punya kelemahan kalau
berdiri sendiri.
Butir ke dua menyatakan bahwa seluruh umat Islam
Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal
Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Butir ke dua ini sangat terkait dengan butir
ke tiga bahwa dalam penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Menteri
Agama wajib kerkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam,
dan instansi terkait. Dua butir fatwa ini sangat penting dan membuka jalan
penyatuan hari raya Islam.
Dasarnya mengacu pada
perintah taat kepada pemimpin atau pemerintah (ulil amri) dalam QS 4:59,
sesudah perintah untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Juga hadits Nabi
riwayat Bukhari yang memerintahkan untuk taat kepada pemimpin walaupun ia
seorang budak Habsyi. Dan dalam fiqih juga dikenal kaidah bahwa keputusan hakim
(pemerintah) bersifat mengikat dan menghilangkan perbedaan pendapat.
Walau pun kita akui betapa
kuatnya dominasi keormasan dalam kehidupan keagamaan di Indonesia, fatwa ulama
di MUI semestinya tidak diabaikan. Keinginan kuat ummat untuk mendapatkan
keseragaman dalam memulai shaum Ramadhan serta merayakan Idul Fitri dan Idul
Adha telah diakomodasikan dengan fatwa perlunya ketaatan kepada satu otoritas,
yaitu pemerintah sebagai ulil amri. Ini adalah awal untuk mempersatukan
hal-hal teknis yang sekian lama sulit dipersatukan. Keterbukaan para pemimpin
ormas Islam untuk mengajak anggotanya untuk menuju penyatuan sangat didambakan.
Bila sebelumnya ada kesan keenganan melepaskan
pendapat ormasnya dalam penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah karena
terkesan mengikuti pendapat ormas lain yang tidak disetujui landasannya, semoga
fatwa ini menghilangkan kesan tersebut. Kita mengikut kepada pemerintah
(diwakili Menteri Agama) yang telah mengakomodasi pendapat MUI, ormas-ormas
Islam, dan para pakar instansi terkait. Ketaatan tersebut juga mengikuti kaidah
fiqih untuk menghilangkan perbedaan pendapat demi menjaga ukhuwah.
Butir ke empat fatwa
menegaskan tentang mathla' (keberlakuan rukyatul hilal) yang dianut Indonesia
bahwa hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal di rukyat walau pun di
luar wilayah Indonesia yang mathla'-nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan
pedoman oleh Menteri Agama RI. Ini menyatakan bahwa di mana pun ada kesaksian
hilal yang mungkin dirukyat dalam wilayah hukum Indonesia (wilayatul hukmi)
maka kesaksian tersebut dapat diterima. Juga kesaksian lain di wilayah sekitar
Indonesia yang telah disepakati sebagai satu mathla', yaitu negara-negara
MABIMS (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura).
Hal ini sebenarnya telah berjalan, namun
pernyataan "hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal
dirukyat" memberi arti tidak semua kesaksian dapat diterima. Bila di suatu
daerah hilal tidak mungkin terlihat karena ketinggiannya di bawah ufuk, maka
kesaksian hilalnya tidak dapat diterima dan tidak boleh dijadikan pedoman. Kasus-kasus
kesaksian hilal yang diterima yang sebenarnya telah di bawah ufuk, tidak boleh
terulang lagi. Kedudukan rukyat dan hisab yang setara yang dinyatakan dalam
butir pertama fatwa tersebut akan menjadi kontrol tidak terulangnya kasus
seperti itu.
Hal yang juga penting
adalam fatwa tersebut adalah rekomendasi agar Majelis Ulama Indonesia
mengusahakan adanya kriteria penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah
untuk dijadikan pedoman oleh Menteri Agama dengan membahasnya bersama
ormas-ormas Islam dan para ahli terkait. Hal-hal teknis yang membuat metode
hisab dan rukyat tampak berbeda, dapat dipersatukan dengan kriteria tersebut. Hal
ini perlu dijelaskan kepada anggota masing-masing ormas Islam bahwa pada
dasarnya hisab dan rukyat dapat mempunyai kriteria yang sama sebagai titik
temunya. Dikhotomi hisab dan rukyat dapat dihilangkan.
Kriteria tersebut akan
merupakan rambu-rambu bagi Menteri Agama sebelum memutuskan penetapan awal
Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Minimal
kriteria tersebut memberikan batasan rukyatul hilal yang bisa diterima dan yang
sepatutnya ditolak berdasarkan pengalaman jangka panjang, sekaligus memberi
batasan untuk menentukan masuknya awal bulan dari hasil perhitungan astronomi
atau hisab. Lazimnya, kriteria tersebut dinamakan kriteria imkanur rukyat (kemungkinan
untuk teramatinya hilal) atau visibilitas hilal. Misalnya, hilal mungkin untuk
dirukyat bila tingginya lebih sekian derajat, jarak dari matahari sekian
derajat, dan umurnya sekian jam.
Memang tidak mudah
mengubah paradigma yang telah melekat sekian lama di kalangan anggota
masing-masing ormas. Ada kesan sikap resistensi pada sebagian anggota masing-masing
ormas untuk mengkritisi kriteria yang selama ini dipegang oleh ormasnya. Sikap
memandang pendapat ormasnya yang unggul dan merendahkan pendapat lainnya,
ternyata masih dijumpai dalam diskusi-diskusi intern ormas Islam. Namun, banyak
juga yang mulai membuka diri dalam upaya mencari titik temu kriteria yang
berbeda-beda tersebut.
Dalam kaitan inilah, Majelis Ulama Indonesia
bersama Departemen Agama perlu mengupayakan muktamar bersama ormas Islam yang
keputusannya mengikat semua pihak. Ada indikasi musyawarah terbatas perwakilan
ormas Islam tidak berdampak kepada perubahan di masing-masing ormas, karena
satu-dua wakil akan berhadapan dengan resistensi anggota yang lebih besar. Walau
pun masih ada kendala aturan organisatoris dalam menerapkan secara langsung
hasil muktamar bersama, namun dengan banyaknya perwakilan daerah yang
dilibatkan akan lebih mudah menghilangkan resistensi dalam muktamar atau munas
masing-masing ormas.
KRITERIA BERSAMA
Rekomendasi dalam fatwa
tersebut perlu segera direalisasikan karena ketaatan kepada ulil amri
(pemerintah) akan lebih kuat kalau didasari pada keyakinan bahwa pemerintah pun
menggunakan kriteria yang disepakati bersama. Dengan demikian tidak akan
terjadi kecurigaan bahwa pemerintah lebih mengakomodasi pendapat salah satu
atau beberapa ormas saja. Tahun 1424 – 1426 (2003 – 2005) adalah masa tenang
yang tidak tidak rawan terjadinya perbedaan dalam penentuan awal Ramadhan, Idul
Fitri, dan Idul Adha. Pada masa inilah kriteria bersama harus sudah diperoleh
agar dapat mengantisipasi kemungkinan perbedaan pada tahun-tahun mendatang.
Ternyata kesempatan baik itu terlewatkan dan kita kembali dihadapkan pada
persoalan perbedaan Idul Fitri 1428/2007.
Dengan kondisi kriteria
yang masih beragam seperti saat ini, ketinggian hilal sekitar 2 derajat atau kurang sangat rawan
menimbulkan perbedaan. Pengalaman
penentuan Idul Fitri 1418 menjadi pelajaran penting bahwa kriteria sangat
menentukan. Pada waktu itu ketinggian hilal hanya sekitar 0,9 derajat. Bagi
kalangan NU yang mengandalkan rukyatul hilal, muncul dua pendapat. Ada yang
menerima kesaksian dari Cakung dan Bawean sehingga beridul fitri pada 29
Januari 1998. Ada pula yang menolaknya karena ketinggiannya kurang dari
kelaziman tinggi minimal imkanurrukyat 2 derajat sehingga beridul fitri
30 Januari 1998.
Bagi Muhammadiyah dan Persis yang mengandalkan
hisab, waktu itu keputusannya pun berbeda. Muhammadiyah yang berdasarkan
kriteria wujudul hilal langsung memutuskan Idul Fitri pada 29 Januari 1998. Sedangkan
Persis yang waktu itu mengikuti kriteria MABIMS tinggi minimal 2 derajat
memutuskan Idul Fitri 30 Januari 1998. Saat itulah pertama kali sidang itsbat
tidak menghasilkan keputusan yang bulat. Pemerintah memutuskan Idul Fitri 30
Januari 1998, tetapi mempersilakan ummat Islam yang meyakini untuk beridul
fitri pada 29 Januari 1998. Kejadian serupa terjadi pada Idul Fitri 1427/2006,
perbedaan justru terjadi pada sesama pengikut metode rukyat maupun hisab karena
perbedaan kriteria.
Kasus perubahan Idul Adha
1422 dari 23 Februari 2002 seperti tercantum dalam kalender yang mengacu pada
Keputusan Menteri Agama tahun 2001 menjadi 22 Februari 2002 juga karena tidak
adanya kriteria yang disepakati bersama. Keputusan Menteri Agama didasarkan
pada kriteria MABIMS yang mensyaratkan umur hilal minimal 8 jam dan tingginya
minimal 2 derajat. Saat itu umur hilal pada akhir Dzulqaidah masih kurang dari
2 derajat. Namun ternyata ada laporan kesaksian hilal yang secara ilmiah
diragukan, namun dapat diterima oleh Menteri Agama. Hasilnya, memang keseragaman
hari Idul Adha, namun Menteri Agama harus membuat keputusan baru yang mengubah
keputusan sebelumnya. Ini pun pertama kali terjadi hari libur diubah.
Kondisi rawan perbedaan
karena rendahnya ketinggian hilal terjadi antara lain pada awal Ramadhan 1422/2001,
Idul Adha 1422/2002, Idul Fitri 1423/2002 dan Idul Adha 1423/2003. Kemudian
kita memasuki masa tenang selama tahun 1424 – 1426 (2003 – 2005) karena tidak
ada yang rawan terjadinya perbedaan. Baru kemudian Idul Fitri 1427/2006 dan
1428/2007 berpotensi terjadinya perbedaan lagi kalau kriteria bersama belum
diperoleh. Dengan niat baik bersama, insya Allah tiga tahun masa tenang ini
dapat dimanfaatkan semua ormas Islam bersama MUI, Departemen Agama, dan
instansi terkait lainnya untuk mengkaji ulang kriteria penentuan awal bulan
qamariyah untuk mencapai titik temu.
Tahun
|
Derajat Tinggi bulan di Jawa Barat pada awal bulan
|
||
Ramadhan
|
Syawal
|
Dzulhijjah
|
|
1422/2001-2002
|
1,7
rawan perbedaan
|
6,3
|
2,5
rawan perbedaan
|
1423/2002-2003
|
7,7
|
1,2
rawan perbedaan
|
1,3
rawan perbedaan
|
1424/2003-2004
|
11,8
|
6,1
|
8,5
|
1425/2004-2005
|
3,4
|
10,3
|
13,8
|
1426/2005
|
10,0
|
3,3
|
4,7
|
1427/2006
|
8,8
|
0,9
rawan perbedaan
|
10,6
|
1428/2007
|
8,5
|
0,7
rawan perbedaan
|
7,4
|
KONSEPSI TITIK TEMU
Tanpa banyak
diketahui oleh masyarakat umum, upaya-upaya menuju titik temu itu sudah mulai
dilakukan oleh masing-masing ormas tersebut. NU yang dikenal kuat
mempertahankan rukyatul hilal, telah banyak berubah dengan memperkenankan
penggunaan alat untuk rukyat dan mengadopsi kriteria hisab imkanur rukyat (kemungkinan
rukyat) untuk menolak kesaksian rukyat yang terlalu rendah. Muhammadiyah yang
dikenal kuat juga mempertahankan hisab wujudul hilal, mulai mengkaji melalui
workshop yang mengundang berbagai praktisi hisab rukyat, termasuk dari NU dan
Persis. Momentum yang baik ini dapat digunakan untuk melakukan redefinisi
tentang hilal. Sayang, Munas Tarjih Muhammadiyah awal Oktober 2003 lalu belum
menghasilkan perubahan yang signifikan, walau ada titik terang untuk terus
mengkaji.
Kriteria MABIMS pada awal 1990-an yang sebenarnya berpotensi
mempertemukan kalangan hisab dan rukyat dalam mendefinisikan "hilal"
sebenarnya telah diterima oleh hampir semua ormas Islam, kecuali Muhammadiyah.
Kriteria itu telah digunakan oleh kalender nasional dan beberapa Ormas Islam. Muhammadiyah,
menurut salah seorang tokoh ahli hisabnya, berkeberatan karena anggapan
kriteria itu tidak ada dukungan ilmiahnya. Memang benar, kriteria tersebut
berdasarkan analisis sederhana, belum memperhitungkan beda azimut bulan –
matahari seperti yang dilakukan pada kriteria astronomis. Kalau mau jujur,
kriteria wujudul hilal yang saat ini digunakan Muhammadiyah juga tidak ada
dukungan ilmiahnya.
Kehendak untuk mendasarkan kriteria "hilal" pada dukungan
ilmu pengetahuan merupakan jalan menuju titik temu. Baik Muhammadiyah maupun NU
memerlukan kriteria yang ada dukungan ilmu pengetahuannya. Kriteria wujudul
hilal yang dipegang Muhammadiyah (dan Persis pasca 4 November 2002) dan kriteria imkanur rukyat 2
derajat yang dipegang NU (dan Persis pra
4 November 2002)
sama-sama harus dikaji ulang. Kita berharap Muhammadiyah, NU, dan Persis serta
ormas-ormas Islam lainnya terbuka untuk mencari titik temu. Para
astronom bersedia menjadi mediator dan Depag telah menyatakan akan menjadi
fasilitator untuk diskusi antarormas dan pakar astronomi.
Metode masing-masing ormas boleh berbeda. Namun, bila kriterianya sama dalam mendefinisikan
hilal, insya Allah keputusannya bisa sama. Saudara-saudara kita yang
menggunakan hisab hanya akan memutuskan masuknya tanggal bila ketinggian bulan
dan syarat-syarat lainnya telah terpenuhi untuk terjadinya rukyatul hilal. Demikian
juga saudara-saudara kita yang menggunakan rukyat hanya akan menerima kesaksian
rukyatul hilal yang meyakinkan secara ilmiah, termasuk memenuhi syarat tinggi dan
ketentuan lainnya.
Secara astronomis pengertian rukyatulhilal bil
fi'ili, bil ain, bil 'ilmi, atau bi qalbi, sama saja, yaitu merujuk
pada kriteria imkanur rukyat atau visibilitas hilal. Kriteria bersama antara
hisab dan rukyat tersebut dapat ditentukan dari analisis semua data rukyatul
hilal dan dikaji dengan data hisab. Dari analisis itu dapat diketahui
syarat-syarat rukyatul hilal, berupa kriteria hisab-rukyat. Kriteria itu dapat
dijadikan sebagai pedoman bagi para perukyat bil fi'li/bil 'ain (secara
fisik dengan mata) untuk menolak kesaksian yang mungkin terkecoh oleh objek
terang bukan hilal. Kriteria itu juga dapat dijadikan sebagai pedoman bagi para
ahli hisab yang melakukan rukyat bil ilmi/bi qalbi (dengan ilmu atau
dengan hati) untuk menentukan masuknya awal bulan.
Secara astronomis, kriteria visibilitas hilal
untuk hisab-rukyat telah banyak tersedia yang didasarkan pada data rukyatul
hilal internasional. Namun, data rukyatul hilal Indonesia perlu juga dikaji
secara astronomis dalam membuat "Kriteria Hisab Rukyat Indonesia". Sebagai
titik awal, kajian oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
dapat dijadikan sebagai embrio kriteria tersebut. Para ahli hisab-rukyat dari
semua Ormas Islam bersama para pakar astronomi dari Observatorium
Bosscha/Departemen Astronomi ITB, Planetarium/Observatorium Jakarta, LAPAN,
Bakosurtanal, dan lainnya secara bertahap dapat mengkaji ulang kriteria
tersebut dengan bertambahnya data rukyatul hilal di Indonesia.
MAJU SELANGKAH
Tahun 1990-an pernah diusulkan
kriteria MABIMS menjadi acuan bersama kriteria penentuan kalender Islam di
Indonesia dan juga di Brunei Darussalam, Malaysia, dan Singapura. Kriteria itu
menyatakan awal bulan ditentukan bila tinggi bulan lebih dari 2 derajat, jarak
sudut bulan-matahari lebih 3 derajat,
dan umur bulan sejak ijtimak (bulan dan matahari segaris bujur) lebih dari 8
jam, walau dalam prakteknya kriteria tinggi dan umur bulan yang lebih banyak
dipakai. Beberapa ormas Islam menerima kriteria tersebut, tetapi ada juga yang
tidak menerimanya. NU menggunakan kriteria tinggi bulan minimal 2 derajat,
sementara Muhammadiyah tetap menggunakan kriteria wujudul hilal. Kriteria
wujudul hilal menyatakan awal bulan ditentukan bila bulan telah wujud di atas
ufuk atau tinggi bulan positif yang ditandai dengan bulan terbenam setelah
matahari terbenam.
Perbedaan tinggi bulan
minimal antara 2 derajat oleh NU dan 0 derajat oleh Muhammadiyah sering
menimbulkan perbedaan kesimpulan awal bulan yang berdampak pada perbedaan
penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Muhammadiyah juga
menggunakan prinsip wilayatul hukmi pada kriteria wujudul hilal, yaitu bila
hilal telah wujud di sebagian wilayah Indonesia maka hal itu dianggap berlaku
di seluruh wilayah hukum Indonesia. Hal ini berpotensi menambah besar perbedaan
hasil penentuan awal bulan. Masalah perbedaan juga sering diperparah dengan
hasil rukyatul hilal yang kontroversial oleh beberapa kalangan NU. Hasil rukyat
tersebut menjadi kontroversial karena secara hisab bulan terlalu rendah sehingga
tidak mungkin terlihat atau bahkan karena bulan sebenarnya telah terbenam saat
maghrib atau ketinggian bulan negatif.
Pada Seminar Nasional
Hisab Rukyat yang diselenggarakan oleh Badan Litbang Agama dan Diklat
Keagamaan, Departemen Agama RI, di Jakarta pada 20 – 22 Mei 2003 dan dihadiri
oleh perwakilan ormas-ormas Islam dan para pakar hisab rukyat telah dicapai
konvergensi pemikiran untuk mendapatkan titik temu. Titik temu tersebut
nantinya berupa kriteria baru sehingga masing-masing pihak maju selangkah,
bukan mengambil salah satu kriteria yang telah ada. Sayangnya titik temu
kriteria tersebut belum dirumuskan, walau telah ada usulan yang ditawarkan.
Tindak lanjut terpenting dalam upaya mencari titik
temu adalah keluarnya fatwa MUI Nomor 2/2004 hasil rumusan pertemuan para ulama
pada Desember 2003. Fatwa tersebut juga merekomendasikan adanya upaya penyatuan
kriteria sebagai pedoman bagi semua pihak. Alhamdulillah, rekomendasi tersebut
akhirnya terlaksana dengan Musyawarah Nasional Penyatuan Kalender Hijriyah yang
difasilitasi Departemen Agama pada Desember 2005. Sebuah langkah maju.
Walaupun belum diputuskan satu kriteria hisab
rukyat yang akan menjadi titik temu penyatuan kalender Islam di Indonesia,
setidaknya para peserta dari perwakilan ormas Islam dan pakar hisab rukyat
berhasil merumuskan tiga opsi kriteria yang akan dikaji lagi baik dalam
pertemuan di tingkat ormas Islam maupun pertemuan besar ormas Islam dan pakar
hisab rukyat untuk menentukan satu kriteria hisab rukyat yang disepakati. Setidaknya
dalam pertemuan besar tersebut, setiap ormas diwakili beberapa orang pimpinan
yang punya otoritas untuk memutuskan atau punya peran besar dalam mengarahkan
kebijakan ormas. Diharapkan, dengan berpartisipinya para pimpinan ormas Islam,
hasil pertemuan tersebut dapat disosialisasikan secara lebih cepat ke tingkat
bawah, tidak sekadar menjadi catatan pribadi wakil ormas.
OPSI KRITERIA
Di kalangan ahli hisab rukyat di Indonesia ada
pemikiran untuk mengkaji ulang semua kriteria yang selama ini digunakan,
terutama yang digunakan oleh ormas-ormas besar yang berpengaruh luas di
masyarakat. Kita patut bersyukur dengan adanya keterbukaan ormas-ormas Islam
(setidaknya yang diungkapkan oleh para wakil mereka dalam pertemuan hisab
rukyat) untuk mengkaji ulang kriteria mereka berdasarkan ilmu pengetahuan,
khususnya astronomi. Hal itu merupakan langkah maju untuk mencari kebenaran
objektif yang tidak terbelenggu sikap taklid sebagian kalangan yang sekadar
mengikut pendapat para ulama pendahulu secara buta. Harus diakui bahwa sikap
taklid bisa mengunci mati pintu menuju titik temu. Dengan sikap taklid,
masing-masing pihak merasa pendapat yang diikutinya selama ini telah mutlak
benarnya, kadang diperparah dengan sikap bangga diri dengan merendahkan
pendapat pihak lain.
Padahal di kalangan ahli hisab rukyat yang
memahami perkembangan ilmu astronomi ada kesadaran bahwa kriteria tersebut
bersifat ijtihadiyah yang mungkin berubah dengan penemuan-penemuan baru. Dalam
ilmu pengetahuan, seperti juga dalam konsep ijtihadiyah dalam fiqih, tidak ada
pendapat yang dianggap benar secara mutlak. Karena bisa jadi, dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan pemahaman manusia, pendapat yang semula
dianggap benar tidak lagi tepat untuk zaman sekarang. Perlu ada pembaruan.
Harus ada upaya semua pihak untuk mengkaji ulang kriteria masing-masing menuju
titik temu kriteria yang disepakati bersama.
Alhamdulillah, dalam musyawarah para ahli hisab
rukyat dari berbagai ormas Islam dan instansi terkait pada Desember 2005 lalu
telah ada langkah maju menuju titik temu kriteria. Langkah maju yang telah
tercapai adalah dirumuskannya tiga opsi kriteria yang perlu dikaji oleh semua
pihak. Bila tercapai kriteria bersama yang disepakati, kriteria tersebut akan
mengakhiri dikhotomi hisab dan rukyat. Kriteria hisab rukyat tersebut harus
dianggap sebagai kriteria dinamis yang terbuka untuk dikaji ulang secara
berkala berdasarkan data-data rukyatul hilal terbaru.
Opsi pertama adalah tawaran kriteria hasil
penelitian di LAPAN (kadang disebut sebagai kriteria LAPAN). Kriteria hisab
rukyat ini didasarkan pada hasil analisis ilmiah astronomis atas data rukyat
Indonesia yang mendekati kriteria
astronomi internasional, yaitu umur hilal minimum 8 jam dan tinggi bulan
minimum tergantung beda azimut bulan – matahari di suatu wilayah Indonesia. Bila
beda azimutnya nol (bulan tepat berada di atas matahari saat terbenam), maka
tinggi bulan minimum 8,3 derajat. Sedangkan bila beda azimut bulan matahari 6
derajat, tinggi bulan minimumnya 2,3 derajat. Kriteria ini masih terlalu rendah
dibandingkan dengan kriteria astronomi internasional, tetapi mempunyai landasan
ilmiah dan dapat diterapkan dengan sistem hisab lama.
Opsi kedua adalah kriteria
hisab rukyat yang didasarkan pada analisis empirik kemungkinan terkecil
terjadinya perbedaan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, bila
dibandingkan dengan kriteria yang berlaku saat ini. Kriteria awal bulan adalah
posisi bulan telah berada di atas ufuk pada saat maghrib di seluruh Indonesia. Kriteria
ini paling sederhana sehingga sistem hisab lama pun bisa menerapkannya, tetapi
tidak mempunyai landasan astronomis yang kuat dan sulit dikembangkan untuk
tingkat regional dalam forum MABIMS.
Opsi ketiga adalah
kriteria hisab rukyat yang didasarkan pada fraksi luas sabit bulan yang bisa
diamati, F(%) = luas sabit/luas bundaran bulan x 100%. Kriteria ini merupakan
salah satu kriteria astronomis yang memungkinkan terlihatnya hilal. Kriteria
awal bulan bila fraksi luas sabit bulan lebih dari 1%. Kriteria ini mempunyai
landasan astronomis yang kuat, tetapi rumit dilakukan dengan sistem hisab lama,
sehingga banyak ahli hisab yang mungkin tidak bisa menerapkannya.
Ketiga opsi tersebut
semestinya dikaji di masing-masing ormas Islam, mana yang dapat diusulkan untuk
menjadi kriteria bersama yang disepakati untuk menggantikan kriteria ormas yang
berbeda-beda. Pilihan masing-masing sebaiknya tidak tunggal, tetapi ada
alternatif lain di antara ketiga opsi tersebut untuk lebih memudahkan menuju
titik temu. Pilihan tersebut akan dibawa dalam pertemuan nasional yang lebih
besar untuk mencari kriteria bersama yang disepakati sebagai kriteria hisab
rukyat Indonesia. Insya Allah, dengan kriteria hisab rukyat Indonesia yang
disepakati, semua kalender Islam, termasuk taqwim standar dan kalender yang
diterbitkan masing-masing ormas Islam, dapat seragam. Alangkah baiknya bila
kemudian Kriteria Hisab Rukyat Indonesia tersebut dapat segera
diimplementasikan sehingga Idul Fitri 1428/2007 tahun depan (dengan kondisi
bulan matahari yang mirip tahun ini) tidak terjadi lagi perbedaan.
SATELIT ISLAM
Tahun 1997 Mufti Besar Mesir Syaikh Nasr Farid Wassil
mengusulkan perlunya satelit untuk pengamatan hilal. Studi kelayakannya
dilakukan oleh profesor astronomi Universitas Kairo. Syaikh Wassil adalah
pendukung pendapat bahwa kesaksian hilal berlaku untuk seluruh dunia. Karenanya
dengan adanya satelit yang pengamatannya tidak terganggu awan dan polusi udara,
diharapkan munculnya hilal diketahui lebih akurat dan menjadi acuan terbaik
bagi seluruh dunia. Gagasan itu didukung oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI)
dan Liga Muslim Sedunia. Namun realisasinya tertunda karena tingginya biaya
yang diperlukan dan keengganan banyak negara yang berbeda faham. Banyak ulama
di berbagai negara yang berpendapat, kesaksian hilal berlaku terbatas pada
wilayah yang se-mathla' (satu waktu munculnya hilal).
Baru pada Desember 2004
ada kepastian bahwa satelit yang dikenal sebagai "Satelit Islam" akan
diluncurkan pada 2006 dengan taksiran biaya $8.000.000. Menyadari adanya
perbedaan pendapat tentang pengamatan hilal dari satelit, Mufti Mesir saat ini
Ali Jumaa menyatakan tidak ada kewajiban negara-negara Muslim untuk mengikuti
kesaksian hilal via satelit tersebut. Direncanakan selama masa aktifnya 7
tahun, satelit akan mengirimkan gambar hilal ke stasiun bumi di Kairo dan
Mekkah. Satelit akan
ditempatkan pada orbit rendah, pada ketinggian beberapa ratus kilometer.
Perlukah Indonesia
mendukungnya? Dari segi biaya mereka menyatakan negara-negara Arab cukup kaya
untuk menanggungnya. Hanya
dukungan pemanfaatan yang tampaknya mereka butuhkan dari negara-negara Islam. Banyak
pendapat menyatakan satelit untuk pengamatan hilal mubadzir selama belum ada
kesepakatan tentang dasar syariatnya dan kesepakatan tentang kriteria rukyatul
hilal. Penggunaan rukyat global, satu rukyat berlaku untuk seluruh dunia, masih
dianggap lemah dari segi syariat dan penjabaran teknis pelaksanaannya. Pendapat
yang menyatakan rukyat global (termasuk dengan satelit) berlaku untuk negeri
yang mengalami malam bersamaan dengan saat rukyat, sekadar pendapat ijtihadiyah
tanpa dalil syariat yang kuat. Jadi, penggunaan satelit bukan solusi terbaik,
tetapi menambah masalah baru tentang keberlakuannya.
Problem terbesar saat ini
dalam penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah adalah adanya kesaksian
yang kontroversial secara astronomis. Solusinya sebenarnya sederhana, gunakan
kriteria hisab rukyat yang disepakati. Karenanya kesepakatan tentang kriteria
menjadi kunci solusi. Dengan kriteria tersebut, rukyatul hilal yang
kontroversial bisa ditolak. Tanpa kriteria tersebut, hasil pengamatan hilal
dari satelit pun tidak akan mampu meyakinkan untuk menolak kesaksian yang
kontroversial. Karena bagi sebagian kalangan, termasuk di Majlis Al Qadla' Al
'Ala Arab Saudi, rukyatul hilal dari saksi yang adil sudah dianggap cukup tanpa
perlu konfirmasi ilmiah.
IDUL ADHA
Penyatuan Idul Adha bukan sekadar
masalah penyatuan kritria, tetapi juga terkait dengan kemungkinan perbedaan
dengan Arab Saudi. Penyebabnya bisa karena keputusan Arab Saudi yang kontroversial
seperti tahun ini, bisa pula karena posisi bulan dan matahari menyebabkan
Indonesia berbeda dengan Arab Saudi dalam penentuan awal Dzulhijjah. Pada saat
terjadi perbedaan antara Arab Saudi dan Indonesia, masalah yang sering muncul
adalah pertanyaan bolehkah shaum Arafah pada saat di Arab Saudi sudah Idul
Adha, karena pada saat hari raya diharamkan shaum.
Masalah ini terkait dengan masalah
ijtihadiyah yang masing-masing kelompok punya dasarnya. Banyak ulama menyatakan
Idul Adha dilaksanakan pada 10 Dzuhijjah, tergantung penentuan awal Dzulhijjah
di masing-masing tempat, seperti halnya penentuan Idul Fitri. Karenanya bisa
saja berbeda Idul Adhanya dengan Arab Saudi dan tetap sah shaum Arafah pada 9
Dzulhijjah karena hari itu diyakini belum hari raya. Hal ini pernah ditanyakan
oleh Dewan Fiqih ISNA (Islamic Society of North America) kepada Ulama Arab
Saudi dan mendapat jawaban bahwa penentuan Idul Adha sama dengan Idul Fitri
(http://moonsighting.com/isnaposition.html).
Sebagian kalangan tetap berpendapat
bahwa shaum Arafah dan Idul Adha harus mengacu pada hari wukuf dan Idul Adha di
Arab Saudi. Karenanya sudah hal yang biasa juga bila ada dua kali shalat Idul
Adha di satu lokasi dengan jamaah yang berbeda. Beruntung persaudaraan masih
terjaga. Namun ada yang menarik dari penuturan seorang wakil di badan Hisab
Rukyat dari ormas Islam yang biasa mengikut Arab Saudi dalam hal Idul Adha. Seorang
mufti Arab Saudi pernah memberikan tausiyah (nasihat) bahwa menjaga ukhuwah
lebih diutamakan daripada memisahkan diri dalam pelaksanaan Idul Adha demi
mengikuti Arab Saudi. Karenanya ormas Islam tersebut kemudian mengikuti
penetapan Idul Adha di Indonesia, walau belakangan kembali lagi pada sikap
semula.
Upaya penyatuan Idul Adha memerlukan
pendekatan ukhuwah. Shaum arafah dapat dilaksanakan berdasarkan pendapat
masing-masing, mengikuti hari wukuf di Arafah atau tanggal 9 Dzuhijjah di
Indonesia. Shaum bersifat pribadi, sehingga tidak tampak perbedaannya di
masyarakat. Namun untuk pelaksanaan Idul Adha dapat diseragamkan. Shalat hari
raya bersifat sunnah, sehingga demi syiar Islam yang bersatu, menjaga persatuan
lebih wajib diutamakan. Sebagian besar ulama membolehkan melaksanakan shalat
Idul Adha selama hari tasyrik, sehingga ada toleransi bagi yang mengikuti Arab
Saudi untuk menunda shalat Idul Adha untuk bersama dengan saudara-saudara
lainnya di Indonesia. Hal seperti ini yang ditetapkan oleh Dewan Syariah PKS
dalam menyikapi perbedaan Idul Adha 1427/2006. Pelaksanaan qurban bisa
dilaksanakan selama hari tasyrik, sehingga tidak bermasalah dalam hal ini. Alangkah
indahnya bila ukhuwah diutamakan dalam menghadapi perbedaan pendapat.
PERAN PEMERINTAH
Kesan adanya keraguan masyarakat pada Pemerintah
yang diwakili oleh Menteri Agama dalam penetapan awal ramadhan, Idul Fitri, dan
Idul Adha dimungkinkan karena tidak diketahuinya mekanisme pengambilan
keputusan tersebut. Mungkin masyarakat tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya
keputusan Meteri Agama diambil melalui mekanisme sidang itsbat (penetapan) yang
dihadiri anggota Badan Hisab Rukyat, perwakilan MUI, perwakilan ormas-ormas
Islam, para pakar instansi terkait, dan perwakilan negara-negara Islam. Semua
pendapat ditampung, baik dari kalangan ahli hisab dengan berbagai sistem maupun
dari kalangan ahli rukyat. Kemudian Menteri Agama mengambil keputusan yang
paling optimal dengan persetujuan peserta sidang. Apakah peran Pemerintah
seperti itu perlu dihapuskan?
Kalau kita menengok penetapan Awal Ramadhan, Idul
Fitri, dan Idul Adha secara internasional, tidak ada yang ditetapkan secara
perorangan. Pasti ada otoritas yang menetapkan. Di negara yang mayoritas
penduduknya Muslim, penetapannya
dilakukan oleh otoritas negara, mungkin Menteri Agama, mufti, Dewan
Mahkamah Tinggi, atau raja. Hanya di negara-negara yang Muslimnya minoritas,
otoritas penetapannya diserahkan kepada organisasi masyarakat Islam setempat. Di
Indonesia otoritas negara ada, yaitu Menteri Agama dan perangkat sidang itsbat,
tetapi peran organisasi massa Islam juga dominan. Seandainya peran pemerintah
dihilangkan, kemanakah rujukan sebagian besar ummat yang tidak ikut ormas
tertentu?
Dengan menghilangkan peran pemerintah dalam
penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha berarti ingin menjadikan
ormas sebagai otoritas penentu. Hal itu tidak menguntungkan karena itu berarti
memaksa ummat yang bukan anggota ormas mana pun untuk mengikuti keputusan ormas
tertentu yang belum tentu menentramkan. Potensi konflik pun lebih terbuka,
karena kecenderungan ormas-ormas mencari pendukung pendapatnya juga cukup kuat.
Setidaknya akan ada perebutan jamaah shalat ied untuk mengikut kelompoknya,
baik dilakukan secara halus melalui tabilgh atau ceramah atau secara terbuka
dengan mengajak dari rumah ke rumah.
Saya cenderung mendukung
fatwa MUI nomor 2/2004 yang menyatakan bahwa (1) penetapan awal Ramadhan,
Syawal, dan Dzulhijah dilakukan berdasarkan metode ru'yah dan hisab oleh
Pernerintah RI cq Menteri Agarna dan berlaku secara nasional, (2) seluruh umat
Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pernerintah RI tentang penetapan
awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah, (3) dalam menetapkan awal Ramadhan,
Syawal, dan Dzulhijah, Menteri Agama wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama
Indonesia, ormas-ormas Islam, dan Instansi terkait. Fatwa itu lebih
menentramkan daripada ummat diberikan kebebasan memilih di antara sekian
keputusan ormas yang mungkin
berbeda-beda.
Pada fatwa itu juga ada
rekomendasi agar Majelis Ularna Indonesia mengusahakan adanya kriteria
penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah untuk dijadikan pedoman oleh
Menteri Agama dengan membahasnya bersama ormasormas Islam dan para ahli
terkait. Kalau rekomendasi itu terlaksana dengan menindaklanjuti rumusan
opsi-opsi kriteria hisab rukyat, insya Allah potensi perbedaan Idul Fitri tahun
depan tidak akan ada lagi. Baik ormas Islam maupun pemerintah akan menggunakan
kriteria yang sama, sehingga keputusannya akan seragam. Bagaimana pun
keseragaman lebih menentramkan, walau pun perbedaan membawa rahmat.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus